Pudarnya Pesona Cleopatra
Ini adalah kisah yang sangat mengharukan, meskipun udah
lama, tapi tetep menyuburkan kerinduan akan kisah yang udah using.
Semoga setelah membaca kisah ini, kita tahu betapa
berartinya orang yang ada disisi kita. Akan lebih mengindahkan kita kepada
kekasih belahan jiwa……
Aamiin…..
PUDARNYA PESONA CLEOPATRA
PUDARNYA PESONA CLEOPATRA
Dengan panjang lebar
ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam
kandungan aku telah dijodohkan dengan
Raihana yang tak pernah
kukenal. “Ibunya Raihana adalah teman
karib ibu waktu nyantri
di pesantren Mangkuyudan Solo dulu,”
kata ibu.
“Kami pernah berjanji, jika dikarunia
anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali
persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu,”
ucap beliau
dengan nada mengiba.
Dalam pergulatan jiwa yang
sulit
berhari-hari,
akhirnya
aku
pasrah.
Aku
menuruti keinginan ibu. Aku
tak mau mengecewakan
ibu. Aku ingin menjadi mentari
pagi di hatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan
diriku.
Dengan hati pahit
kuserahkan
semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya
dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan
yang datang begitu saja
dan
tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah
punya kriteria
dan impian tersendiri untuk calon istriku.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa
berhadapan
dengan
air mata ibu yang amat kucintai.
Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap
wajah
Raihana, benar kata
Aida
adikku, ia memang
baby face dan
anggun. Namun garis-garis
kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan
sama sekali.
Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “Cantiknya alami, bisa jadi bintang
iklan
Lux lho, asli
!” kata tante Lia. Tapi penilaianku
lain,
mungkin
karena
aku
begitu
hanyut
dengan gadis-gadis
Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya
putih jelita,
dengan hidung melengkung indah, mata bulat
bening
khas
Arab,
dan bibir yang
merah.
Di hari-hari menjelang pernikahanku,
aku berusaha
menumbuhkan bibit-bibit cintaku
untuk calon istriku, tetapi usahaku
selalu
sia-sia.
Aku
ingin
memberontak
pada ibuku, tetapi wajah
teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk di pelaminan
bagai
mayat hidup, hati
hampa
tanpa cinta,
Pestapun
meriah
dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa
menusuk-nusuk hati.
Kulihat Raihana
tersenyum manis, tetapi hatiku terasa
teriris-iris
dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada
ibuku yang kucintai. Rabbighfir
li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi
bukan
cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa
membaca ayat-ayatNya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku.
***
Tepat dua
bulan
Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah
kehidupan hampa. Aku
tak menemukan adanya gairah.
Betapa
susah hidup
berkeluarga tanpa
cinta. Makan, minum,
tidur,
dan
shalat
bersama
dengan
makhluk
yang
bernama Raihana,
istriku, tapi Masya Allah bibit
cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya
yang
teduh tetap terasa
asing.
Memasuki bulan
keempat, rasa muak hidup bersama
Raihana
mulai kurasakan,
rasa
ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang
jauh-jauh
rasa tidak baik ini, apalagi pada istri
sendiri
yang seharusnya
kusayang
dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain.
Aku
lebih
banyak diam,
acuh tak acuh, agak
sinis, dan tidur
pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku
ada lah sia-sia, belajar di luar
negeri sia-sia, pernikahanku
sia-sia, keberadaanku sia-sia.
Tidak
hanya
aku yang tersiksa, Raihanapun
merasakan
hal yang sama,
karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun
tanya, tetapi kujawab,
“tidak
apa-apa koq mbak, mungkin aku
belum dewasa, mungkin
masih
harus
belajar
berumah tangga.”
Ada
kekagetan
yang kutangkap
di wajah
Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, “Kenapa Mas memanggilku mbak, aku
kan istrimu, apa Mas sudah tidak mencintaiku,” tanyanya
dengan guratan
wajah
yang
sedih.
“Wallahu
a’lam,”
jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk,
tak lama kemudian
dia terisak-isak
sambil
memeluk kakiku, “Kalau Mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai
istri, kenapa Mas ucapkan
akad nikah?”
“Kalau dalam
tingkahku melayani Mas masih ada
yang kurang
berkenan, kenapa
Mas tidak
bilang dan menegurnya, kenapa Mas diam saja,
aku harus bersikap bagaimana
untuk membahagiakan Mas, kumohon bukalah sedikit
hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku di dunia ini,”
Raihana
mengiba
penuh
pasrah.
Aku menangis menitikkan air
mata, bukan
karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari
terus berjalan,
tetapi komunikasi kami
tidak berjalan. Kami hidup seperti orang
asing tetapi
Raihana
tetap melayaniku, menyiapkan
segalanya untukku.
***
Suatu
sore
aku pulang mengajar dan kehujanan,
sampai di rumah
habis maghrib, bibirku
pucat, perutku belum kemasukkan
apa-apa
kecuali segelas
kopi buatan
Raihana tadi pagi. Memang aku berangkat pagi karena ada
janji
dengan
teman.
Raihana
memandangiku
dengan khawatir.
“Mas
tidak apa-apa,” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas
mandi dengan
air panas saja, aku sedang
menggodoknya,
lima menit lagi mendidih,”
lanjutnya. Aku melepas semua
pakaian
yang basah. ”Mas airnya sudah siap,” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah
katapun, aku langsung
ke kamar mandi,
aku lupa membawa handuk, tetapi
Raihana
telah berdiri di
depan pintu membawa handuk. ”Mas aku buatkan wedang jahe.” Aku diam saja.
Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.
Dengan cepat aku berlari ke
kamar mandi dan
Raihana
mengejarku dan memijit-mijit pundak
dan tengkukku seperti
yang dilakukan ibu. “Mas
masuk angin. Biasanya kalau
masuk angin diobati
pakai apa,
pakai
balsam,
minyak putih, atau
jamu?” tanya Raihana sambil
menuntunku ke kamar. ”Mas jangan
diam saja
dong,
aku kan tidak tahu apa yang harus
kulakukan untuk membantu Mas”.
“Biasanya dikerokin,”
jawabku lirih. “Kalau
begitu
kaos mas dilepas
ya, biar Hana
kerokin,”
sahut Raihana sambil tangannya
melepas
kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja
ibunya. Raihana
dengan sabar mengeroki punggungku dengan sentuhan tangannya
yang halus.
Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau.
Setelah itu
aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi
tak jauh
dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan
ingin menangis, Raihana
manis
tapi tak semanis gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra.
Dalam tidur aku bermimpi
bertemu
dengan Cleopatra, ia mengundangku
untuk
makan malam
di istananya. “Aku
punya keponakan
namanya Mona Zaki, nanti
akan aku perkenalkan denganmu,” kata
Ratu
Cleopatra. “Dia
memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran,
aku
melihatmu
cocok dan
berniat
memperkenalkannya denganmu.” Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona
Zaki dengan pakaian
pengantinnya, cantik
sekali.
Sang ratu mempersilakan
aku duduk
di kursi yang
berhias berlian.
Aku melangkah maju, belum sempat duduk,
tiba-tiba “Mas, bangun, sudah jam setengah empat,
mas belum sholat
Isya,” kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. “Maafkan aku Mas, membuat Mas
kurang suka,
tetapi Mas belum
sholat
Isya,” lirih Hana sambil
melepas
mukenanya,
mungkin dia baru selesai sholat malam.
Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi
sayang terputus.
Aku jadi semakin tidak suka sama
dia,
dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah
dia bersalah, bukankah dia berbuat baik
membangunkanku untuk sholat Isya.
Selanjutnya aku
merasa
sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya.
Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi.
Aku benar-benar
terpenjara dalam
suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku
sendiri
belum pernah jatuh cinta,
entah
kenapa
bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.
***
“Mas,
nanti
sore
ada
acara aqiqah
di rumah Yu Imah. Semua
keluarga
akan
datang
termasuk ibundamu.
Kita
diundang
juga. Yuk,
kita
datang
bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang,”
suara
lembut Raihana menyadarkan
pengembaraanku pada Jaman
Ibnu Hazm. Pelan-pelan
ia letakkan nampan yang berisi
onde-onde kesukaanku dan segelas
wedang jahe.
Tangannya yang halus agak gemetar.
Aku dingin-dingin saja.
“Maaf..maaf jika mengganggu
Mas, maafkan Hana,” lirihnya,
lalu perlahan-lahan
beranjak meninggalkan
aku
di ruang kerja. “Mbak! Eh
maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!,” panggilku dengan suara parau
tercekak
dalam tenggorokan.
“Ya
Mas!”
sahut Hana langsung menghentikan langkahnya
dan
pelan-pelan
menghadapkan dirinya padaku.
Ia berusaha
untuk tersenyum,
agaknya ia bahagia dipanggil
‘dinda’. Matanya
sedikit berbinar. “Te..terima kasih Di..dinda,
kita berangkat bareng
kesana,
habis
sholat
dhuhur,
insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang
kupaksakan.
Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar di
bibirnya.
“Terima
kasih Mas, Ibu kita pasti
senang, mau pakai baju
yang
mana Mas, biar dinda
siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?”
Hana
begitu
bahagia.
Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar
mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh
tak acuh padanya selama ini. Aku
belum
pernah
melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah
sedihnya ya.
Tapi
wajah
tidak sukanya belum
pernah.
Bah, lelaki macam apa aku
ini,
kutukku
pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku
sendiri atas sikap dinginku selama ini.
Tapi,
setetes
embun
cinta yang
kuharapkan
membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura
titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling
membenci diriku
sendiri
di dunia
ini.
Acara pengajian dan aqiqah
putra
ketiga Fatimah kakak sulung Raihana
membawa sejarah baru lembaran
pernikahan kami. Benar dugaan
Raihana, kami dielu-elukan keluarga,
disambut hangat,
penuh cinta, dan penuh bangga. “Selamat
datang
pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga!” sambut Yu
Imah disambut tepuk
tangan bahagia
mertua
dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah
Raihana
cerah.
Matanya
berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku
menangis disebut pasangan
ideal.
Apanya yang ideal. Apa karena
aku
lulusan Mesir dan
Raihana lulusan
terbaik
di kampusnya dan
hafal al-Quran
lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti
Ibnu
Hazm dan
istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada
pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta
yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan.
Rasa cinta yang dari detik
ke detik
meneteskan
rasa
bahagia.
Tapi diriku? Aku
belum
bisa
memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.
Sambutan
sanak
saudara pada
kami benar-benar hangat. Aku
dibuat kaget oleh sikap Raihana
yang
begitu
kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali
menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami
yang dicintainya. Bahkan
ia mengaku
bangga
dan bahagia
menjadi istriku.
Aku sendiri
dibuat pusing dengan sikapku.
Lebih
pusing lagi sikap ibuku dan
mertuaku
yang menyindir
tentang
keturunan.
“Sudah
satu tahun
putra
sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya
ya, padahal aku ingin sekali menimang
cucu,”
kata
ibuku. “Insya
Allah tak lama lagi, ibu akan menimang
cucu, doakanlah
kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut
Raihana
sambil
menyikut lenganku, aku
tergagap dan
mengangguk sekenanya.
Setelah peristiwa
itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-
pura
kembali
mesra
dengannya, sebagai suami
betulan. Jujur, aku
hanya pura-pura. Sebab bukan atas
dasar cinta, dan bukan
kehendakku
sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin
manis.
Keluarga bersuka
cita semua. Namun
hatiku
menangis
karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah
hamba, datangkanlah cinta
itu segera.
Sejak
itu aku
semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi.
Setiap
saat nuraniku
bertanya, “Mana tanggung jawabmu!” Aku
hanya diam
dan mendesah sedih. “Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta,” gumamku.
Dan
akhirnya datanglah hari itu, usia
kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal
bersama
orang
tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya
dan kuantarkan
dia
ke rumahnya.
Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh
curiga ketika
aku harus
tetap tinggal di kontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan,
“Mas,
untuk
menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti
cairkan tabunganku yang
ada di ATM. Aku taruh di bawah
bantal,
nomor pin-nya
sama
dengan tanggal pernikahan
kita.”
Setelah Raihana
tinggal
bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari aku tidak bertemu
dengan orang yang membuatku
tidak nyaman.
Entah
apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit
repot,
harus menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku,
karena aku sudah terbiasa
saat
kuliah di Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa
Raihana.
Suatu
saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari
sudah
petang,
aku merasa tubuhku benar-benar lemas.
Aku muntah-muntah, menggigil,
kepala pusing
dan perut
mual.
Saat itu terlintas di hati
andaikan
ada
Raihana,
dia pasti telah menyiapkan
air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati
masuk angin dengan
mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat
dan menutupi tubuhku
dengan selimut.
Malam itu
aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada
penyesalan dalam hati, aku belum sholat
Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit
terasa, andaikan ada
Raihana tentu aku
ngak meninggalkan sholat
Isya,
dan tidak terlambat sholat subuh.
Lintasan
Raihana
hilang seiring keberangkatan mengajar
di kampus. Apalagi aku mendapat tugas
dari universitas
untuk mengikuti
pelatihan
mutu
dosen mata kuliah
bahasa Arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa Arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang
Mesir.
Dalam pelatihan
aku juga berkenalan dengan
Pak Qalyubi,
seorang dosen bahasa Arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir.
Dia
menceritakan satu pengalaman
hidup
yang menurutnya pahit dan terlanjur
dijalani. ”Apakah kamu sudah
menikah?”
kata
Pak
Qalyubi.
“Alhamdulillah, sudah,” jawabku.
“Dengan orang mana?”.
“Orang Jawa.”
“Pasti orang yang
baik
ya. Iya kan?
Biasanya
pulang dari Mesir banyak saudara
yang menawarkan
untuk
menikah
dengan
perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari
pesantren?”.
“Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”.
“Kau sangat beruntung, tidak sepertiku.”
“Kenapa dengan Bapak?” “Aku
melakukan
langkah
yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir
itu, tentu batinku
tidak merana
seperti
sekarang”.
“Bagaimana itu bisa
terjadi?.”
“Kamu tentu tahu kan gadis Mesir
itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan
kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, saya
seorang anak tunggal dari
seorang
yang
kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Di sana saya bersama
kakak kelas namanya Fadhil,
orang
Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu,
tahun
pertama saya
lulus
dengan
predikat
jayyid,
predikat yang cukup
sulit
bagi
pelajar dari Indonesia.
Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya.
Saya dikenalkan dengan anak gadisnya
yang
bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya
belum pernah melihat gadis
secantik itu. Saya bersumpah
tidak akan menikah dengan siapapun kecuali
dia.
Ternyata
perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil.
Fadhil membuat garis
tegas, akhiri hubungan dengan anak
tuan rumah itu atau
sekalian
lanjutkan
dengan
menikahinya. Saya memilih yang
kedua.
Ketika saya
menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini,
sama-sama menikah dengan gadis
Mesir,
kenapa
tidak mencari
mahasiswi Al-Azhar yang hafal al-Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih
selamat
dari
pada dengan Yasmin yang
awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk
menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin.
Yasmin menuntut diberi sesuatu
yang
lebih
dari gadis Mesir. Perabot rumah yang
mewah, menginap
di hotel berbintang. Begitu selesai S-1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang
di Mesir
dijual untuk modal di Indonesia.
Kami
langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota
Medan.
Tahun-tahun pertama
hidup
kami berjalan
baik, setiap tahunnya Yasmin
mengajak
ke
Mesir menengok orang
tuanya. Aku
masih
bisa
memenuhi semua
yang diinginkan
Yasmin.
Hidup
terus
berjalan, biaya hidup semakin nambah,
anak kami
yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak
setiap
tahun
tetapi tiga tahun sekali, Yasmin tidak bisa.
Aku mati-matian berbisnis,
demi keinginan
Yasmin
dan anak-anak terpenuhi. Sawah
terakhir milik Ayah
saya jual untuk modal. Dalam
diri saya mulai
muncul penyesalan. Setiap
kali
saya melihat teman-teman
alumni
Mesir yang
hidup dengan tenang dan damai
dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan
bisa
berdakwah dengan
baik. Dicintai masyarakat.
Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin
rending, saya
harus
ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan
masakan Indonesia.
Kau
tahu sendiri,
gadis Mesir
biasanya memanggil suaminya
dengan namanya. Jika ada sedikit
letupan, maka rumah seperti
neraka.
Puncak
penderitaan
saya dimulai
setahun
yang
lalu.
Usaha saya
bangkrut, saya
minta Yasmin
untuk
menjual perhiasannya,
tetapi dia tidak mau. Dia
malah membandingkan
dirinya yang hidup serba
kurang
dengan sepupunya. Sepupunya
mendapat suami orang Mesir.
Saya menyesal
meletakkan
kecantikan
diatas
segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya
yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan
tanah,
yang akhirnya
mereka
tinggal di ruko yang
kecil dan
sempit. Batin
saya
menangis.
Mereka
berharap
modal itu
cukup untuk merintis bisnis
saya yang bangkrut.
Bisnis saya
mulai bangkit, Yasmin
mulai berulah, dia mengajak ke Mesir.
Waktu di Mesir
itulah puncak tragedi yang menyakitkan. “Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku
minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali
dengan lelaki Mesir.”
Kata
Yasmin yang
bagaikan
geledek menyambar.
Lalu
tanpa dosa dia bercerita
bahwa tadi di KBRI
dia
bertemu
dengan temannya. Teman lamanya
itu sudah jadi bisnisman,
dan istrinya sudah meninggal.
Yasmin
diajak makan siang,
dan dilanjutkan
dengan perselingkuhan.
Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan
ke polisi.
Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku.
Rupanya selama ini Yasmin
sering mengirim surat yang berisi berita
bohong.
Sejak saat
itu saya
mengalami depresi. Dua
bulan yang
lalu saya mendapat surat
cerai
dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan
temannya.
Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau
meminta ibunya pulang.”
Mendengar
cerita
Pak Qalyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan
hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya
terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya.
Tiba-tiba
ada kerinduan yang menyelinap
dihati.
Dia
istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun.
Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya
karena kemurahan Allah aku mendapatkan
istri seperti dia.
Meskipun
hatiku
belum
terbuka
lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala di dindingnya. Apa
yang sedang
dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana
kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar
lagi melahirkan. Aku jadi teringat
pesannya. Dia ingin agar
aku mencairkan tabungannya.
Pulang dari
pelatihan,
aku menyempatkan
ke toko baju
muslim,
aku ingin membelikannya
untuk
Raihana, juga daster,
dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan
kejutan, agar
dia tersenyum
menyambut kedatanganku.
Aku tidak langsung ke rumah mertua,
tetapi ke kontrakan
untuk
mengambil
uang tabungan, yang disimpan di bawah bantal.
Di bawah kasur itu kutemukan kertas merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap.
Surat cinta siapa ini,
rasanya
aku belum
pernah
membuat surat
cinta
untuk
istriku.
Jangan-jangan
ini surat
cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong.
Dengan rasa takut kubaca
surat
itu satu persatu.
Dan Rabbi, ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku
zhalimi.
Ia menulis, betapa
ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan
nestapa
dan derita
yang luar biasa.
Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya
Allah,
ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan
suaminya.
Dan betapa dia ingin
hadirnya cinta
sejati dariku.
“Rabbi dengan penuh kesyukuran,
hamba
bersimpuh di hadapan-Mu. Lakal hamdu ya
Rabb. Telah Kau muliakan hamba dengan
al-Quran. Kalaulah bukan karena
karunia-Mu
yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok ke dalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran
dalam
diri hamba,”
tulis Raihana.
Dalam akhir tulisannya Raihana
berdoa,
“Ya Allah
inilah hamba-Mu yang kerdil
penuh
noda dan dosa kembali datang mengetuk pintu-Mu, melabuhkan derita jiwa ini ke
hadirat-Mu. Ya
Allah
sudah
tujuh
bulan ini hamba-Mu ini hamil
penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu
tega suami
hamba tak mempedulikanku
dan menelantarkanku.
Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya.
Masih
kurang
apa kesetiaanku padanya. Masih
kurang apa
baktiku
padanya? Ya Allah,
jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu
ini cara
berakhlak
yang lebih mulia lagi pada suamiku.
Ya
Allah,
dengan
rahmatMu hamba mohon
jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba
saja
yang menderita. Maafkanlah
dia,
dengan
penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap
berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha
Tahu bahwa hamba sangat mencintainya
karena-Mu. Sampaikanlah
rasa cinta
ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah
dia dengan teguran-Mu. Ya Allah
dengarkanlah doa
hamba-Mu ini. Tiada
Tuhan yang layak
disembah
kecuali Engkau, Maha Suci Engkau.”
Tak
terasa air mataku mengalir, dadaku
terasa sesak oleh
rasa haru
yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam
tangisku
semua
kebaikan
Raihana
terbayang.
Wajahnya
yang
baby face dan teduh,
pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya,
suaranya
yang lembut, tangannya yang halus bersimpuh memeluk kakiku,
semuanya terbayang
mengalirkan perasaan
haru dan
cinta. Dalam
keharuan terasa ada angin sejuk yang turun dari
langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra
telah memudar berganti
cinta Raihana yang datang di hati.
Rasa sayang dan cinta
pada Raihan tiba-tiba
begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat
di mata. Aku
tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk
membagi cintaku
dengan
Raihana.