Rabu, 02 November 2011

Profesionalisme Guru dalam Mengajar

ini hanyalah sebagian hasil kerja kerasku dalam penyusunan skripsiku. mungkin akan sedikit membantu para pencari ilmu yang masih aktif dalam dunia kependidikan. dan semoga bermanfaat.!aamiinn....
PROFESIONALISME GURU DALAM KEAKTIFAN BELAJAR

A.    Profesionalisme Guru
Guru dalam literatur pendidikan Islam dapat disebut sebagai ustadz, mu’allim, murobbiy, mursyid, dan mu’addib (al-Attas, 1980; al-Nahlawi, 1979; al-kailani, 1986; Mursi,1976). Kata “ustadz” ini dapat digunakan untuk memanggil seorang profesor. Ini mengandung pengertian bahwa seorang guru di tuntut untuk komitmen profesionalis-me dalam mengemban tugasnya. Kata “mu’allim” mengandung makna bahwa seorang guru dituntut mampu menjelaskan hakikat Ilmu pengetahuan yang diajarkan serta menjelaskan dimensi teoritis, praktis dan berusaha membangkitkan siswa untuk mengamalkannya. Kata “murobbiy” dapat memberi pengertian bahwa seorang guru memiliki tugas mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mampu mengatur dan memelihara kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya masyarakat dan alam sekitarnya. Kata “mursyid” mengandung makna bahwa seorang guru harus berusaha menularkan penghayatan akhlak dan atau kepribadiannya kepada peserta didiknya baik berupa etos ibadahnya, etos kerjanya, etos belajarnya maupun dedikasinya yang serba lillahi ta’ala (hanya mengharap ridlo Allah semata). Sedangkan kata “mua’ddib” yang bermakna bahwa guru adalah orang yang beradab sekaligus memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization)
Sedangkan secara bahasa profesional berasal dari bahasa Inggris (profession) dan bahasa Belanda (professie) yang keduanya mengadopsi dari bahasa Latin yaitu (professio) yang memiliki arti pengakuan atau pernyataan. Secara istilah profesionalisme dapat dikatakan sebagai pernyataan atau pengakuan tentang bidang pekerjaan atau bidang pengabdian yang dipilih. Seperti yang diungkapkan oleh para ahli, bahwa kegaiatan atau pekerjaan dapat dikatakan sebagai profesi apabila ia dilakukan untuk mencari nafkah dan sekaligus dilakukan dengan tingkat keahlian yang cukup tinggi, dan profesi akan dapat menghasilkan mutu produk yang baik apabila diiringi dengan etos kerja yang mantap pula. Ada tiga ciri dasar yang selalu dapat dilihat dalam setiap profesionalitas yang baik menurut etos kerjanya di antaranya:
1)      Adanya keinginan untuk menjunjung tinggi mutu pekerjaan (job quality).
2)      Adanya keinginan untuk menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan.
3)      Adanya keinginan untuk memberi pelayanan kepada masyarakat melalui karya profesionalnya.
Apabila ketiga sifat profesional itu tidak melekat pada seorang pekerja maka ia tidak termasuk dalam katagori pekerja yang profesional.
Definisi di atas mengandung makna setidaknya kata profesional memiliki tiga ciri di antaranya: Pertama, mengandung unsur pengabdian. Kedua,  mengandung unsur idealisme. Ketiga, mengandung unsur pengembangan. Maksud dari unsur pengabdian yaitu setiap profesi harus dikembangkan untuk memberikan pelayanan tertentu kepada masyarakat, pelayanan itu dapat berupa pelayanan indifidual maupun kolektif. Maksud dari unsur idealisme yaitu setiap profesi bukanlah sekedar mata pencaharian atau bidang pekerjaan yang mendatangkan materi saja, melainkan dalam profesi itu mencakup pengertian pengabdian terhadap sesuatu yang luhur dan idealis. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur pengembangan adalah setiap bidang profesi mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan prosedur kerja yang mendasari pengabdiannya secara terus menerus.
Ketiga makna kata profesional tersebut ternyata memiliki konsep mengenai bidang yang berhubungan dengan pekerjaan. Jika profesionalisme dianggap sebagai bidang pekerjaan maka sudah selayaknya memiliki etos kerja yang baik. Bekerja harus menghasilkan kualitas yang bagus, unggul, tepat waktu, disiplin, sungguh-sungguh, ulet, rajin, cermat, teliti, sistematis dan berpedoman pada dasar keilmuan tertentu.
Makna profesionalisme di atas secara jelas dapat dikatakan bahwa kata profesional mengandung unsur-unsur yang serat dengan pekerjaan-pekerjaan yang memiliki tantangan untuk selalu mengembangkan dan meningkatkan kualitas mutu produk (output) dari pekerjaan itu sendiri. Dengan selalu meng-update kemampuan ilmu pengetahuannya dimaksudkan produk dari pekerjaan itu dapat bersaing dengan produk-produk lain dalam dunia pendidikan global.
Dalam buku Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Muhaimin: 2003) dijelaskan bahwa guru profesional adalah guru yang memiliki komitmen terhadap profesionalitas yang dengan sendirinya di dalam diri seorang guru tersebut melekat sifat-sifat yang mirip dengan ustadz yang selalu mencerminkan segala aktifitasnya sebagai seorang murobbiy, mu’allim, mursyid, mudarris dan mu’addib. Yusuf Wibisono berpendapat bahwa guru profesional adalah guru yang memiliki mental yang tangguh, rasa tanggung jawab kepada profesi, anak didik dan tentunya Allah swt. Mental yang tangguh, rasa tanggungjawab merupakan motivasi utama seorang guru, dalam mengajar. Karena mengajar bukan hanya sekedar proses mentransfer ilmu pengetahuan semata, tetapi juga merupakan proses mendidik agar siswa berperilaku baik, memberi contoh teladan, serta mau belajar dari anak didik agar hubungan timbal balik antara kedua belah pihak menjadi sinergi positif dalam membangun proses kegiatan belajar mengajar yang baik di sekolah. Maka sudah sepantasnya bila seorang guru harus selalu mau belajar dan mau memperbaiki segala kekurangannya
Adapun konsekuensi apabila guru dipandang sebagai sebuah profesi (pekerjaan), maka ada beberapa ketentuan yang harus di taatinya di antaranya:
1.      Setiap profesi yang dikembangkan harus memberikan layanan tertentu kepada masyarakat.
2.      Profesi bukan sekedar mata pencaharian tetapi mencakup pengertian, pengabdian terhadap sesuatu.
3.      Profesi mengandung makna yaitu mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan prosedur kerja yang mendasari pengabdiannya secara terus menerus ( Nurul Yaqien, “ Profesionalisme Guru dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan ”,   http// blog.uin-malang.ac.id /yaqien /2011/07/09/,hlm. 1-3)
Profesi diukur berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan  yang dimiliki. Dalam dunia keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi yaitu: profesi, semi profesi, terampil, tidak terampil,  dan quasi profesi.
Gilley  dan  Eggland  (1989) mendefinisikan  profesi  sebagai  bidang  usaha  manusia berdasarkan  pengetahuan,  dimana  keahlian  dan  pengalaman  pelakunya  diperlukan  oleh masyarakat. Definisi ini meliputi aspek yaitu :
a.       Ilmu pengetahuan tertentu
b.      Aplikasi kemampuan/kecakapan, dan
c.       Berkaitan dengan kepentingan umum.
Aspek-aspe yang   terkandung   dala profesi   tersebut   juga   merupakan   standar pengukuran profesi guru. Proses  profesional  adalah  proses  evolusi  yang  menggunakan  pendekatan  organisasi dan  sistemastis  untuk  mengembangkan  profesi  ke  arah  status  professional  (peningkatan status).  Secara  teoritis  menurut  Gilley  dan  Eggland  (1989)  pengertian  professional  dapat didekati   denga empa prespektif   pendekata yaitu   orientasi   filosofis,   perkembangan bertahap, orientasi karakteristik, dan orientasi non-tradisonal.
  1. Orientasi Filosofi
Ada  tiga  pendekatan  dalam  orientasi  filosofi,  yaitu  pertama  lambang  keprofesionalan adalah  adanya  sertifikat,  lissensi,  dan  akreditasi.  Akan  tetapi  penggunaan  lambang  ini tidak  diminati  karena  berkaitan  dengan  aturan-aturan  formal.  Pendekatan  kedua  yang digunaka untuk   tingka keprofesionala adala pendekata sika individu,   yaitu pengembangan sikap individual, kebebasan personal, pelayanan umum dan aturan yang bersifat pribadi. Yang penting bahwa layanan individu pemegang profesi diakui oleh dan bermanfaa bag penggunanya Pendekata ketiga electic yaitu   pendekata yang menggunakan  prosedur,  teknik,  metode  dan  konsep  dari  berbagai  sumber,  sistim,  dan pemikira akademis.   
Prose profesionalisasi   diangga merupaka kesatua dari kemampuan,  hasil kesepakatadan  standar  tertentu.  Pendekatan  ini berpandangan bahwa pandanga individu   tida aka lebih   baik   dar pandanga kolektif   yang disepakati  bersama.  Sertifikasi  profesi  memang  diperlukan,  tetapi  tergantung  pada tuntutan penggunanya.
  1. Orientasi Perkembangan
Orientasi            perkembangan menekankan    pada    enam    langkah pengembangan profesionalisasi, yaitu:
a.       Dimula dar adany asosiasi   informa individu-individu   yan memiliki   minat terhadap profesi.
b.      Identifikasi dan adopsi pengetahuan tertentu.
c.       Para praktisi biasanya lalu terorganisasi secara formal pada suatu lembaga.
d.      Penyepakatan  adanya  persyarata profesi  berdasarkan  pengalaman  atau kualifikasi tertentu.
e.       Penentuan kode etik.
f.       Revisi persyaratan berdasarkan kualifikasi   tertentu (termasuk syarat akademis) dan pengalaman di lapangan.
  1. Orientasi Karakteristik
Profesionalisasi  juga  dapat  ditinjau  darkarakteristik profesi/pekerjaan.  Ada  delapan karakteristik pengembangan profesionalisasi, satu dengan yang lain saling terkait:
a.       Kode etik
b.      Pengetahuan yang terorganisir
c.       Keahlian dan kompetensi yang bersifat khusus
d.      Tingkat pendidikan minimal yang dipersyaratkan.
e.       Sertifikat keahlian
f.       Prose tertentu   sebelum   memangku   profesi   untuk   bisa   memangku   tuga dan tanggung jawab
g.      Kesempatan untuk penyebarluasan dan pertukaran ide di antara anggota profesi
h.      Adanya  tindakan  disiplin  dan  batasan  tertentu  jika  terjadi  malpraktek  oleh  anggota profesi
  1. Orientasi Non-Tradisional
Perspektif  pendekatan  yang  keempat  yaitu  prespektif  non-tradisonal  yang  menyatakan bahwa   seseoran denga bidang   ilmu   tertent diharapkan mampu   meliha dan merumuskan  karakteristik yang unik dan kebutuhan dari sebuah profesi. Oleh karena itu perlu  dilakukan  identifikasi  elemen-elemen  penting  untuk  sebuah  profesi,  misalnya termasuk  pentingnya sertifikasi  professional  dan  perlunya  standarisasi  profesi  untuk menguji kelayakannya dengan kebutuhan lapangan.
Tentu saja, pekerjaan guru tidak diragukan untuk dapat dikatakan sebagai profesi pendidikan dan pengajaran. Namun, hingga kini pekerjaan untuk melakukan pendidikan dan  pengajaran ini  masih  sering  dianggap  dapat  dilakukan  oleh  siapa  saja.  Inilah tantangan bagi profesi guru. Paling tidak hal ini masih sering terjadi di lapangan.
Profesionalisme  guru  perlu  didukung  oleh  suatu  kode  etik  guru  yang  berfungsi sebagai  norma  hukum  dan  sekaligus  sebagai  norma  kemasyarakatan.  Kelembagaan profesi guru (seperti PGRI) sangat diperlukan untuk menghindari terkotak-kotaknya guru karena alasan struktur birokratisasi atau kepentingan politik tertentu.
Profesionalisme  guru  harus  didukung  oleh  kompetensi  yang  standar  yang  harus dikuasai oleh para guru profesional. Kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan atau keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikasi keahlian haruslah  dipandang  perlu  sebagai  prasarat  untuk  menjadi  gurprofesional.  Menurut Surya (2003) guru yang profesional harus menguasai keahlian dalam kemampuan materi keilmuan  dan  ketrampilan  metodologi.  Guru  juga  harus  memiliki  rasa  tanggung jawab yang tinggi atas pekerjaannya baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara, lembaga  dan  organisasi  profesi.  Selain  itu,  guru  juga  harus  mengembangkan  rasa kesejawata yang  tinggi  dengan  sesama   guru.  Disinilah  peran  Perguruan  Tinggi Pendidikan dan organisasi profesi guru sangat penting Kerjasama antar keduanya menjadi sangat diperlukan. Lembaga Pendidikan dalam memproduk guru yang profesiona tida dapa berjala sendiri,   kecuali   selain   harus   bekerjasama   dengan lembaga profesi guru, dan sebaliknya.
Untuk itu, maka pengembangan profesionalisme guru juga harus mempersyaratkan hidup  dan  berperanannya  organisasi  profesi           guru tenaga  kependidikan  lainnya  yang mampu menjadi tempat  terjadinya  penyebarluasan dan pertukaran ide  diantara anggota dalam menjaga kode etik dan pengembangan profesi masing-masing.
Orientasi  mutu,  profesionalisme  dan  menjunjung  tinggi  profesi  harus  mampu menjadi etos kerja guru. Untuk itu maka, kode etik profesi guru harus pula ditegakkan oleh anggotanya dan organisasi profesi guru harus pula dikembangkan kearah memiliki otoritas yang tinggi agar dapat mengawal profesi guru tersebut. ( Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., “ Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan di Era Otonomi Daerah”, Makalah dalam Seminar Nasional Pendidikan Dewan Pendidikan_23 Juli 2005 Kab Wonogiri (Jepara: PERPUSDA JEPARA ,2010), Hal. 8-11,t.d)
Berbicara keberhasilan seorang pendidik baik secara personal maupun komunal, tentu akan merujuk kepada pendidikan Rasulullah. Beliau berhasil membina para sahabatnya secara personal dan berhasil membina masyarakatnya. Secara personal, para sahabat Rasulullah SAW adalah pribadi-pribadi hebat tak hanya secara moral, tetapi kematangan sikapnya. Bahkan Rasulullah SAW memberikan jaminan kulitas para sahabatnya sebagai sebaik-baik generasi sesuai dengan hadits Rasulullah SAW ;” sebaik-baik generasi adalah generasiku kemudian setelahnya kemudian setelahnya.” (HR. Bukhori Muslim).
Rosulullah SAW adalah sosok teladan tanpa keraguan, dalam diri beliaulah pancaran keagungan Islam teraplikasi dengan sempurna. Allah SWT memberikan jaminan akan keteladanan Rasulullah SAW tersebut dalam firman Nya didalam surat Al-Ahzab ayat 21 :
ô‰s)©9 tb%x. öNä3s9 ’Îû ÉAqߙu‘ «!$# îouqó™é& ×puZ|¡ym ...........
Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.(Q.S.Al-Ahzab :21) ( Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya : Jaya Sakti, 1997), hlm. 670)

Dalam keterangan ayat diatas, dijelaskan bahwa Rosulullah adalah sebagai bapak dari segala guru yang patut diteladani kearifan dan kedisiplinannya dalam mendidik para sahabat, saudara dan ummatnya. Rosulullah mengajarkan keprofesionalan dalam bidang mendidik, keaktifan, kreatif, disiplin ilmu dll. Beliau adalah sosok aplikatif dari keagungan Al-Qur’an. Dalam hadits Aisyah ra, dikatakan bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an.
B.       Persyaratan Umum Profesionalisme Guru
Profesi pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau janji terbuka bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk mengemban pekerjaan itu ( Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Jakarta:Bumi Aksara, 2002),h.1.). Das Salirawati juga mengemukakan bahwa profesi merupakan suatu jabatan yang dillandasi oleh berbagai keahlian, karena pada umumnya suatu jenis pekerjaan akan dapat dikerjakan dan diselesaikan dengan hasil baik apabila ditangani oleh orang yang memiliki kemampuan dalam bidang tersebut. Kemampuan ini dalam tingkat yang paling dasar dan sederhana ditandai oleh ketrampilan kerja.
Kemampuan tersebut tidak lain adalah kompetensi guru. Cooper mengemukakan 4 kompetensi guru, yakni :
a.       Mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia.
b.      Mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya
c.       Mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah dan bidang studi yang diajarkannya.
d.      Mempunyai ketrampilan tekhnik mengajar ( Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, cet 4,( Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1998), hlm 17)

Pendapat yang hampir serupa dikemukakan oleh Glasser. Menurut Glasser ada 4 hal yang harus dikuasai guru yakni :
a.       Menguasai bahan pelajaran
b.      Kemampuan mendiagnosis tingkah laku siswa
c.       Melaksanakan proses pengajaran
d.      Mengukur hasil belajar siswa

Secara sederhana kemampuan berarti kompetensi, namun bila dikaji lebih mendalam ternyata mempunyai arti yang cukup luas, karena kemampuan bukan semata-mata menunjukkan kepada ketrampilan dalam melakukan sesuatu. Kemampuan ini dapat diamati dengan menggunakan sedikitnya 4 macam petunjuk yaitu :
a.       Ditunjang adanya latar belakang pengetahuan
b.      Adanya penampilan atau performance
c.       Kegiatan yang menggunakan prosedur dan tekhnik yang jelas
d.      Adanya hasil yang dicapai
Piet A. Sahertian yang mengemukakan tiga definisi mengenai kompetensi guru; pertama,kompetensi guru adalah kemampuan guru untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan yang telah dirancangkan. Kedua, kompetensi guru adalah adalah ciri hakiki dari kepribadian guru yang menuntunnya kearah pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Ketiga, kompetensi adalah perilaku yang dipersyaratkan untuk mencapai tujuan pendidikan ( Piet A. Sahertian. Profil Pendidik Profesional,(  Yogyakarta : Andi Offset, 1994 ), Hlm, 56.).
Nana Syaodih Sukmadinata mengemukakan tentang kompetensi yang dikutip dari Depdikbud, yang dirumuskan dalam suatu kemampuan, kemampuan tersebut antara lain sebagai berikut :
1.      Kemampuan professional, yang diwujudkan dengan :
a.       Penguasaan terhadap materi pelajaran.
b.      Penguasaan terhadap landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan.
c.       Penguasaan terhadap proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran.
2.      Kemampuan sosial
Seorang guru harus mampu berperan aktif bagi pengembangan kehidupan masyarakat, kemampuan guru disini harus dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungannya.
3.      Kemampuan personal, yang mencakup :
a.       Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru.
b.      Pemahaman, penghayatan dan penampilan yang seyogyanya dimiliki oleh seorang guru.
c.       Penampilan upaya untuk menjadikan dirinya sebagai anutan dan teladan bagi para siswanya. ( Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek,( Bandung : Rosda Karya, 1997),  Hlm. 192-193.)

Sedangkan Zakiah Darodjat mengemukakan tentang kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu :
1.      Kompetensi Kepribadian
a.       Merencanakan atau menyusun setiap program satuan pelajaran.
b.      Menggunakan dan mengembangkan media pendidikan (alat bantu atau alat peraga) dalam proses belajar mengajar.
c.       Mengembangkan dan menggunakan semua metode mengajar agar terjadi variasi dan kombinasi yang efektif.
2.      Kompetensi penguasaan atas bahan ajar
a.       Menguraikan ilmu pengetahuan atau kkecakapan dan apa-apa yang harus diajarkannya kedalam bentuk komponen-komponen dan informasi yang sebenarnya dalam bidang ilmu.
b.      Menyusun komponen-komponen atau informasi itu sedemikian rupa sehingga akan memudahkan siswa untuk memperoleh pelajaran yang diterimanya.
3.      Kompetensi dalam cara-cara mengajar
a.       Merencanakan atau menyusun setiap program satuan pelajaran, demikian pula merencanakan keseluruhan kegiatan untuk satuan waktu (cawu atau semester atau tahun ajaran).
b.      Menggunakan dan mengembangkan media pendidikan (alat bantu atau alat peraga) bagi siswa dalam proses belajar mengajar yang diperlukannya.
c.       Mengembangkan dan menggunakan semua metode mengajar agar terjadi variasi dan kombinasi yang efektif.( Zakiah Darodjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1995 ),  Hlm. 263-264.)

Seorang guru yang dikatakan professional tidak terlepas dari tugas dan perannya sebagai pendidik. Para ahli pendidikan telah sepakat bahwa tugas guru adalah mendidik. Dalam arti yang luas mempunyai makna mengajar, membimbing, membina dan melatih peserta didik (siswa). Seperti yang diungkapkan Roestiyah, tugas dan peran guru dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut.
a.       Sebagai pengajar, seorang guru harus mampu ;
a). Merencanakan progam pengajaran
b). Melaksanakan progam pengajaran
c). Mengevaluasi hasil belajar siswa serta progam pengajaran yang telah dilaksanakan
b.   Sebagai pendidik, seorang guru bertanggung jawab dalam usaha pencapaian kedewasaan dan kemandirian peserta didik.
c.   Sebagai manajerial, seorang guru harus dapat menjadi pemimpin bagi diri sendiri, bagi siswa maupun bagi masyarakat yang terwujud dari sikap :
      a). Memberi kesempatan pada siswa untuk mengeluarkan pendapat.
      b). mengakui siswa sebagai pribadi yang lain dari yang lainnya.
c). Berhasil tidaknya proses belajar mengajar merupakan tanggung jawab guru dan siswa.
      d). Membimbing anak belajar.
e). Menciptakan suasana belajar yang demokratis dalam interaksi belajar mengajar.( Roestyah N.K, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, ( Jakarta : Bina Aksara, 1989 ), Hlm. 80-81)

Tugas guru sangatlah berat bukan sekedar sebagai pengajar yang hanya memberikan pelajaran dan ilmu pengetahuan, namun tugas utama yang harus diemban guru sebagai tenaga pengajar dan yang merupakan komponen dari system pendidikan adalah mempersiapkan perangkat pembelajaran terlebih dahulu di rumah seperti merancang : bagaimana membuka pelajaran, tujuan dan strategi menyampaikan tujuan pembelajaran khusus yang sesuai dengan kemampuan siswa, bagaiman menutup pelajaran sehingga membawa kesan yang sangat baik oleh siswa ( Elyman, “Beratnya Tugas Guru”, Dalam Majalah Gerbang,  Edisi 5, Th. III November 2003, Hlm, 51.). Sehingga dalam mengemban tugas-tugasnya, guru dituntut untuk memainkan peranan dan fungsinya secara optimal sebab gurulah yang bertanggung jawab dalam menentukan arah pendidikan.
Moh Uzer Usman mengungkapkan bahwa guru mempunyai 3 jenis tugas, yakni :
1)   Tugas dalam bidang profesi. Tugas ini meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan ketrampilan-ketrampilan siswa.
2)   Tugas kemanusiaan. Tugas dalam bidang ini harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Seorang guru harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola bagi siswanya, karena siswa akan enggan menghadapi guru yang tidak menarik.
3)   Tugas kemasyarakatan. Tugas ini menempatkan guru pada tempat yang lebih terhormat dilungkungannya, karena dari seorang guru diharapkan masyarakat dapat memperoleh ilmu pengetahuan. Inii berarti seorang guru berkewajiban menceerdaskan banggsa menuju pembentukan manusia Indonesia berdasarkan pancasila. ( Moh Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, ( Bandung : Rosda Karya, 1996) , Hlm. 6-7.)

Guru disamping sebagai pendidik, adalah warga masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Pengertian terrhadap lingkungannya akan membuka jalan bagi seorang guru untuk mengetahui masalah yang timbul dan harus diatasinya. Guru sebagai pendidik dan warga masyarakat berkewajiban untuk mengamalkan suatu dasar ing ngarso sung tulodho ing madyo mangun karso tut wuri handayani yang mempunyai makna guru adalah seorang yang patut diteladani tidak hanya bagi murid-muridnya dikelas tetapi juga kehidupan pribadinya sebagai warga masyarakat. ( Mulyati Arifin, Pengembangan Program pengajaran Bidang Studi Kimia,( Surabaya, : Airlangga University Press, 1994 ), Hlm. 183.)
Guru diharapkan dari sinilah harus mempunyai pemahaman, penghayatan dan pengamatan standar serta memiliki profesionalisme sebagai tuntutan profesi di era kompetisi sekarang ini. Disamping ada kewajiban imperative, yaitu bberkewajiban mengembangkan profesionalisme dalam rangka meningkatkan kemampuan mengajar.( Yuli hermowo, “ Peningkatan Kemampuan Profesionalisme Guru” , Dalam Majalah Gerbang , Edisi 5 th. III Nov. 2003,Hlm. 41.) Semua itu harus dikuasai oleh guru sebagai modal awal bagi penghayatan dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari dalam mengemban tugasnya. Jadi seorang guru tidak hanya boleh beranggapan bahwa tugasnya hanya mengajar semata.
C.      Keaktifan Belajar
1.      Pengertian Keaktifan Belajar
Pokok bahasan tentang keaktifan penulis dianalogikan dengan kedisiplinan belajar mata pelajaran fiqih. Menurut kamus bahasa Indonesia “disiplin” diartikan latihan batin dan watak supaya mentaati tata tertib; kepatuhan pada aturan.( Sucipto Suntoro, Kamus Bahassa Indonesia, ( Surakarta : PT. Beringin, 1990) , Hlm 110.) Sedangkan menurut kamus popular Indonesia “disiplin” diartikan sebagai ketaatan terhadap peraturan ( Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, ( Surabaya : Arkola, 1994 ), Hlm, 114.)
Masing-masing tokoh berbeda pendapat tentang mendefinisikan disiplin. Tetapi pada dasarnya mempunyai maksud yang sama. Istilah “disiplin” mengandung banyak arti. Oteng Sutisna menjelaskan “disiplin” (Oteng Sutisna, Administrasi Pendidikan Dasar Teorotis Untuk Praktek Profesional, (Bandung : Angkasa, 1987 ), Hlm 96.)sebagai berikut :
a.       Proses atau hasil pengarahan atau pengendalian keinginan, dorongan, atau kepentingan demi suatu cita-cita atau untuk mencapai tindakan yang lebih efektif.
b.      Pencarian suatu cara bertindak yang terpilih dengan gigih, aktif dan diarahkan sendiri, sekalipun menghadapi rintangan.
c.       Pengendalian perilaku dengan langsung dan otoritas melalui hukuman dan atau hadiah.
d.      Pengekangan dorongan, sering melalui cara yang tak aneh, menyakitkan. Sedang disiplin sekolah diartikan kadar karakteristik dan jenis keadaan serba teratur pada suatu sekolah tertentu atau cara-cara dengan keadaan teratur itu diperoleh, pemeliharaan kondisi yang membantu kepada pencapaian efisiensi fungsi-fungsi sekolah.
Sedangkan menurut Chester Harris memberikan definisi disiplin sebagai berikut :
a.       Berisi moral yang mengatur tata kehidupan.
b.      Pengembangan ego dengan segala masalah intrinsic yang mengharuskan orang untuk menetukan pilihan.
c.       Pertumbuhan kekuatan untuk mencari jawaban terhadap setiap aturan yang di sampaikan.
d.      Penerimaan outpritas eksternal yang membantu seseorang umtuk membentuk kemampuan dan keterbatasan hidup.
Sejalan dengan tujuan diatas Webster memberikan sejumlah definisi “disiplin” empat yang pokok diantaranya ialah :
a.       Latihan yang mengembangkan pengendalian diri, karakter, atau keadaan serba teratur dan efisien.
b.      Hasil latihan serupa itu, pengendalian diri, perilaku yang tertib.
c.       Penerimaan atau kepatuhan terhadap kekuasaan dan control.
d.      Perlakuan yang menghukum tau menyiksa.
Definisi-definisi tersebut diatas mengatakan adanya dua pokok pengertian penting tentang disiplin. Pengertian pertama adalah proses atau hasil pengembangan karakter, pengendalian diri, keadaan teratur dan efisiensi. Pengertian yang kedua meliputi penggunaan hukuman atau ancaman hukuman untuk membuat orang-orang mematuhi peintah dan mengikuti peraturan dan hukum. Jenis disiplin ini telah diberi nama disiplin negative, disiplin otoriter, disiplin menghukum atau menguasai melalui rasa takut.
Adapun faktor-faktor yang mendorong dalam mengembangkan pola perilaku yang baik disekolah, yang nampaknya dapat membantu dalam membangun hubungan guru-murid yang baik. Sesuai apa yang dinyatakn oleh Oteng Sutisna, adalah :
a.       Harus ada pemahaman dan pengakuan oleh guru dan murid tentang maksud-maksud dan nilai-nilai dari norma-norma dan aturan-aturan yang berlaku.
b.      Tekanan hendaknya diletakkan pada disiplin diri oleh guru dan murid.
c.       Guru maupun murid hendaknya memiliki sifat-sifat perilaku warga sekolah yang baik, seperti ;sopan santun, pertimbangan dan bahasa yang baik dan benar.
d.      Mempunyai tujuan dan target yang hendak dicapai.
e.       Tekanan dalam pembentukan sikap, kasus disiplin hendaknya pada individu yang bersangkutan dan bukan pada tindakannya. Hukuman yang diberikan henddaknya diletakkan pada individu dan bukan kepada pelanggaran suatu peraturan dan norma.
f.       Keinginan untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.
g.      Guru dan murid hendaknya bekerjasama dalam membangun, memelihara, dan memperbaiki aturan-aturan dan norma-norma.
Dari pengertian yang diambil dari kamus tersebut, maka dapat kita ambil sebuah penalaran bahwa disiplin adalah sebuah kondisi yang membutuhkan sebuah ketaatan terhadap peraturan-peraturan yang berlaku sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
2.      Ciri-ciri Kedisiplinan
Dalam proses pembelajaran disekolah disiplin merupakan syarat mutlak dalam pelaksanaan pendidikan, syarat yang tidak boleh tidak ada ( de condition sine quanon ), syarat yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu apabila pengakuan dan penerimaan anjuran-anjuran dari pendidik itu tidak berdasarkan adanya kedisiplinan dalam pendidikan maka anak menuruti anjuran itu hanya berdasarkan rasa takut akan ancaman hukuman yang diberikan.
Menurut Al-Abrasy ciri yang menonjol guru yang disiplin sebagaimana dikatakan adalah :
a.       Bijaksana, Tepat Menjelaskan Tugas, Taat aturan yang berlaku di Sekolah.
Ini berarti pandai menggunakan akal pemikiran serta dapat membedakan yang baik dan mana yang tidak baik, arif dan selalu bertindak sesuai dengan nalar dan taat aturan yang telah ditentukan.
b.      Tegas Dalam Perkataan dan Perbuatan
Tegas dalam perkataan dan perbuatan merupakan salah satu modal utama yang harus dimiliki seorang guru dalam memberikan keteladanan. Dengan demikian akan menimbulkan kesan yang baik dan dapat di percaya.
c.       Tepat Waktu
Menhargai waktu adalah sebuah keharusan dalam menjalankan tugas sebagai seorang guru. Dalam kenyataan sekarang ini banyak timbul permasalahan akibat guru yang tidak menghargai waktu. Kekosongan dalam kelas hamper tiap hari kita temukan, akibatnya proses belajar-mengajar terganggu dan menggakibatkan kesan buruk yang ditimbulkannya.
d.      Tanggung Jawab
Tanggung jawab akan profesi yang dimiliki adalah konsekuensi yang harus dimiliki. Tanggung jawab seorang guru adalah membimbing dan mendidik dan memberikan contoh yang baik terhadap peserta didik.
3.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kedisiplinan
Rendahnya kedisiplinan pegawai sama sekali bukan hal yang bru. Masalah seperti ini telah menjadi penyakit kronis dan yang mmenjangkiti mental pegawai hamper setiap instansi pemerintahan dari pusat sampai daerah bahkan sampai desa atau kelurahan. Juga tidak kalah penting sudah menjangkit para pendidik kita yang nota bene adalah orang yang terdidik dan terpimpin.
Budaya tidak disiplin, baik disiplin waktu, disiplin terhadap peraturan, disiplin dalam menjalnkan tugas dan sebagainya, sungguh masih sangat memprrihatinkan.
Memperbaiki kedisiplinan memang tidak mudah. Selain butuh keteladanan dari seorang pemimpin, juga yang tterpenting adalah membangun mental ( character building ) dan kepribadian mereka.
Faktor yang tidak kalah penting adalah datang dari masyarakat sendiri. Peran serta masyarakat dalam pengawasan proses sebuah system kinerja yang ada dalam pemerintahan, kiranya sangat membantu menuju perbaikan yang optimal.
Berdasarkan faktor diatas tentunya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Tinggal kesadaran masing-masing individu untuk bisa berbesar hati demi sebuah tatanan kehidupan masyarakat yang kondusif. Saling mengisi dan saling mengingatkan. ( Media, Indisipliner Bukan Hanya Karena system Tapi Mental, (Jombang : Yamajo, 2003), Hlm, 2.)



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda