Profesionalisme Guru dalam Mengajar
ini hanyalah sebagian hasil kerja kerasku dalam penyusunan skripsiku. mungkin akan sedikit membantu para pencari ilmu yang masih aktif dalam dunia kependidikan. dan semoga bermanfaat.!aamiinn....
PROFESIONALISME GURU DALAM KEAKTIFAN
BELAJAR
A.
Profesionalisme
Guru
Guru dalam literatur pendidikan Islam dapat disebut sebagai ustadz,
mu’allim, murobbiy, mursyid, dan mu’addib (al-Attas,
1980; al-Nahlawi, 1979; al-kailani, 1986; Mursi,1976). Kata “ustadz”
ini dapat digunakan untuk memanggil seorang profesor. Ini mengandung
pengertian bahwa seorang guru di tuntut untuk komitmen profesionalis-me dalam
mengemban tugasnya. Kata “mu’allim” mengandung makna bahwa seorang
guru dituntut mampu menjelaskan hakikat Ilmu pengetahuan yang diajarkan serta
menjelaskan dimensi teoritis, praktis dan berusaha membangkitkan siswa untuk
mengamalkannya. Kata “murobbiy” dapat memberi pengertian bahwa seorang
guru memiliki tugas mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi,
sekaligus mampu mengatur dan memelihara kreasinya untuk tidak menimbulkan
malapetaka bagi dirinya masyarakat dan alam sekitarnya. Kata “mursyid” mengandung
makna bahwa seorang guru harus berusaha menularkan penghayatan akhlak dan atau
kepribadiannya kepada peserta didiknya baik berupa etos ibadahnya, etos
kerjanya, etos belajarnya maupun dedikasinya yang serba lillahi ta’ala (hanya
mengharap ridlo Allah semata). Sedangkan kata “mua’ddib” yang bermakna
bahwa guru adalah orang yang beradab sekaligus memiliki peran dan fungsi untuk
membangun peradaban (civilization)
Sedangkan secara bahasa profesional berasal dari bahasa Inggris (profession)
dan bahasa Belanda (professie) yang keduanya mengadopsi dari bahasa
Latin yaitu (professio) yang memiliki arti pengakuan atau pernyataan.
Secara istilah profesionalisme dapat dikatakan sebagai pernyataan atau
pengakuan tentang bidang pekerjaan atau bidang pengabdian yang dipilih. Seperti
yang diungkapkan oleh para ahli, bahwa kegaiatan atau pekerjaan dapat dikatakan
sebagai profesi apabila ia dilakukan untuk mencari nafkah dan sekaligus
dilakukan dengan tingkat keahlian yang cukup tinggi, dan profesi akan dapat
menghasilkan mutu produk yang baik apabila diiringi dengan etos kerja yang
mantap pula. Ada tiga ciri dasar yang selalu dapat dilihat dalam setiap
profesionalitas yang baik menurut etos kerjanya di antaranya:
1)
Adanya keinginan untuk menjunjung tinggi mutu pekerjaan
(job quality).
2)
Adanya keinginan untuk menjaga harga diri dalam
melaksanakan pekerjaan.
3)
Adanya keinginan untuk memberi pelayanan kepada
masyarakat melalui karya profesionalnya.
Apabila ketiga sifat profesional itu tidak melekat pada seorang pekerja
maka ia tidak termasuk dalam katagori pekerja yang profesional.
Definisi di atas mengandung makna setidaknya kata profesional memiliki
tiga ciri di antaranya: Pertama, mengandung unsur pengabdian. Kedua,
mengandung unsur idealisme. Ketiga, mengandung unsur
pengembangan. Maksud dari unsur pengabdian yaitu setiap profesi harus
dikembangkan untuk memberikan pelayanan tertentu kepada masyarakat, pelayanan
itu dapat berupa pelayanan indifidual maupun kolektif. Maksud dari unsur
idealisme yaitu setiap profesi bukanlah sekedar mata pencaharian atau bidang
pekerjaan yang mendatangkan materi saja, melainkan dalam profesi itu mencakup
pengertian pengabdian terhadap sesuatu yang luhur dan idealis. Sedangkan yang
dimaksud dengan unsur pengembangan adalah setiap bidang profesi mempunyai
kewajiban untuk menyempurnakan prosedur kerja yang mendasari pengabdiannya
secara terus menerus.
Ketiga makna kata profesional tersebut ternyata memiliki konsep mengenai
bidang yang berhubungan dengan pekerjaan. Jika profesionalisme dianggap sebagai
bidang pekerjaan maka sudah selayaknya memiliki etos kerja yang baik. Bekerja
harus menghasilkan kualitas yang bagus, unggul, tepat waktu, disiplin,
sungguh-sungguh, ulet, rajin, cermat, teliti, sistematis dan berpedoman pada
dasar keilmuan tertentu.
Makna profesionalisme di atas secara jelas dapat dikatakan bahwa kata
profesional mengandung unsur-unsur yang serat dengan pekerjaan-pekerjaan yang
memiliki tantangan untuk selalu mengembangkan dan meningkatkan kualitas mutu
produk (output) dari pekerjaan itu sendiri. Dengan selalu meng-update
kemampuan ilmu pengetahuannya dimaksudkan produk dari pekerjaan itu dapat
bersaing dengan produk-produk lain dalam dunia pendidikan global.
Dalam buku Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Muhaimin: 2003)
dijelaskan bahwa guru profesional adalah guru yang memiliki komitmen terhadap
profesionalitas yang dengan sendirinya di dalam diri seorang guru tersebut
melekat sifat-sifat yang mirip dengan ustadz yang selalu mencerminkan
segala aktifitasnya sebagai seorang murobbiy, mu’allim, mursyid,
mudarris dan mu’addib. Yusuf Wibisono berpendapat bahwa guru
profesional adalah guru yang memiliki mental yang tangguh, rasa tanggung jawab
kepada profesi, anak didik dan tentunya Allah swt. Mental yang tangguh, rasa
tanggungjawab merupakan motivasi utama seorang guru, dalam mengajar. Karena
mengajar bukan hanya sekedar proses mentransfer ilmu pengetahuan semata, tetapi
juga merupakan proses mendidik agar siswa berperilaku baik, memberi contoh
teladan, serta mau belajar dari anak didik agar hubungan timbal balik antara
kedua belah pihak menjadi sinergi positif dalam membangun proses kegiatan
belajar mengajar yang baik di sekolah. Maka sudah sepantasnya bila seorang guru
harus selalu mau belajar dan mau memperbaiki segala kekurangannya
Adapun konsekuensi apabila guru dipandang sebagai sebuah profesi
(pekerjaan), maka ada beberapa ketentuan yang harus di taatinya di antaranya:
1.
Setiap profesi yang dikembangkan harus memberikan
layanan tertentu kepada masyarakat.
2.
Profesi bukan sekedar mata pencaharian tetapi mencakup
pengertian, pengabdian terhadap sesuatu.
3.
Profesi mengandung makna yaitu mempunyai kewajiban
untuk menyempurnakan prosedur kerja yang mendasari pengabdiannya secara terus
menerus ( Nurul Yaqien, “ Profesionalisme Guru
dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan ”, http//
blog.uin-malang.ac.id /yaqien /2011/07/09/,hlm. 1-3)
Profesi diukur
berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan yang dimiliki. Dalam dunia keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi yaitu: profesi, semi
profesi,
terampil, tidak terampil, dan
quasi profesi.
Gilley dan
Eggland (1989) mendefinisikan profesi
sebagai bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan, dimana keahlian dan pengalaman
pelakunya diperlukan oleh
masyarakat. Definisi ini meliputi aspek yaitu :
a.
Ilmu pengetahuan tertentu
b. Aplikasi kemampuan/kecakapan, dan
c.
Berkaitan
dengan kepentingan umum.
Aspek-aspek yang terkandung
dalam profesi
tersebut juga merupakan standar pengukuran profesi guru. Proses
profesional adalah
proses evolusi
yang menggunakan pendekatan organisasi dan sistemastis untuk mengembangkan profesi
ke arah status professional
(peningkatan status). Secara teoritis menurut Gilley
dan Eggland (1989)
pengertian
professional dapat
didekati dengan empat prespektif
pendekatan yaitu
orientasi
filosofis, perkembangan
bertahap, orientasi
karakteristik, dan orientasi
non-tradisonal.
- Orientasi Filosofi
Ada tiga
pendekatan
dalam
orientasi filosofi, yaitu pertama lambang
keprofesionalan adalah adanya
sertifikat,
lissensi, dan
akreditasi. Akan
tetapi
penggunaan
lambang
ini
tidak diminati karena
berkaitan dengan
aturan-aturan formal.
Pendekatan kedua
yang digunakan untuk tingkat keprofesionalan adalah pendekatan sikap individu, yaitu pengembangan sikap individual, kebebasan personal, pelayanan umum dan aturan yang bersifat pribadi. Yang penting bahwa layanan individu pemegang profesi diakui oleh dan
bermanfaat
bagi penggunanya. Pendekatan ketiga: electic,
yaitu
pendekatan yang menggunakan
prosedur,
teknik, metode
dan konsep dari
berbagai
sumber,
sistim,
dan pemikiran
akademis.
Proses profesionalisasi dianggap merupakan kesatuan dari kemampuan, hasil
kesepakatan dan
standar tertentu. Pendekatan ini berpandangan
bahwa pandangan individu tidak akan lebih
baik dari pandangan kolektif yang
disepakati bersama. Sertifikasi profesi memang
diperlukan, tetapi tergantung
pada
tuntutan penggunanya.
- Orientasi Perkembangan
Orientasi perkembangan menekankan pada enam langkah pengembangan profesionalisasi, yaitu:
a.
Dimulai dari adanya asosiasi informal individu-individu
yang memiliki
minat
terhadap profesi.
b.
Identifikasi
dan adopsi pengetahuan
tertentu.
c.
Para praktisi biasanya lalu terorganisasi
secara formal
pada suatu lembaga.
d.
Penyepakatan
adanya persyaratan profesi
berdasarkan pengalaman
atau
kualifikasi tertentu.
e.
Penentuan kode
etik.
f.
Revisi persyaratan berdasarkan kualifikasi tertentu (termasuk syarat akademis) dan pengalaman
di lapangan.
- Orientasi Karakteristik
Profesionalisasi juga dapat ditinjau dari karakteristik profesi/pekerjaan.
Ada
delapan
karakteristik pengembangan
profesionalisasi,
satu dengan yang lain
saling terkait:
a.
Kode etik
b.
Pengetahuan yang terorganisir
c.
Keahlian dan
kompetensi yang bersifat khusus
d.
Tingkat pendidikan minimal yang dipersyaratkan.
e.
Sertifikat keahlian
f.
Proses tertentu
sebelum memangku profesi untuk
bisa
memangku tugas dan
tanggung jawab
g.
Kesempatan untuk penyebarluasan dan pertukaran ide di
antara anggota profesi
h.
Adanya
tindakan disiplin dan batasan tertentu
jika terjadi malpraktek
oleh
anggota profesi
- Orientasi Non-Tradisional
Perspektif
pendekatan yang keempat
yaitu
prespektif non-tradisonal
yang
menyatakan bahwa seseorang dengan bidang
ilmu
tertentu diharapkan mampu melihat dan merumuskan karakteristik yang unik dan kebutuhan dari sebuah profesi. Oleh karena itu
perlu dilakukan identifikasi elemen-elemen
penting untuk sebuah profesi, misalnya
termasuk pentingnya sertifikasi professional
dan
perlunya standarisasi profesi untuk menguji kelayakannya dengan kebutuhan
lapangan.
Tentu saja, pekerjaan guru tidak diragukan untuk dapat dikatakan sebagai profesi
pendidikan dan pengajaran. Namun, hingga kini “pekerjaan untuk melakukan pendidikan
dan pengajaran” ini masih
sering dianggap dapat dilakukan oleh
siapa
saja.
Inilah
tantangan bagi
profesi guru. Paling tidak hal
ini masih sering terjadi di lapangan.
Profesionalisme guru perlu
didukung
oleh suatu kode etik
guru yang berfungsi sebagai norma hukum dan
sekaligus
sebagai norma
kemasyarakatan. Kelembagaan profesi guru (seperti PGRI) sangat diperlukan untuk menghindari terkotak-kotaknya guru
karena alasan
struktur birokratisasi atau kepentingan politik tertentu.
Profesionalisme guru harus
didukung
oleh kompetensi
yang standar
yang
harus
dikuasai oleh para guru profesional. Kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan
atau keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikasi keahlian
haruslah dipandang
perlu sebagai
prasarat
untuk menjadi guru profesional.
Menurut Surya (2003) guru yang profesional harus menguasai keahlian dalam kemampuan materi
keilmuan dan
ketrampilan
metodologi.
Guru juga harus
memiliki rasa
tanggung jawab
yang tinggi atas pekerjaannya baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara,
lembaga dan organisasi
profesi.
Selain itu, guru
juga
harus
mengembangkan
rasa kesejawatan yang
tinggi
dengan
sesama
guru. Disinilah peran
Perguruan
Tinggi
Pendidikan dan organisasi profesi guru sangat penting. Kerjasama antar keduanya menjadi sangat diperlukan. Lembaga Pendidikan dalam memproduk guru yang
profesional tidak dapat berjalan sendiri,
kecuali
selain
harus
bekerjasama
dengan lembaga profesi
guru, dan
sebaliknya.
Untuk itu, maka pengembangan profesionalisme guru juga harus mempersyaratkan hidup dan
berperanannya
organisasi profesi guru tenaga
kependidikan lainnya
yang mampu menjadi tempat
terjadinya
penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota
dalam
menjaga kode etik dan
pengembangan profesi
masing-masing.
Orientasi
mutu,
profesionalisme
dan menjunjung
tinggi
profesi
harus
mampu menjadi etos kerja guru. Untuk itu maka, kode etik profesi guru harus pula ditegakkan oleh anggotanya dan organisasi profesi guru harus pula dikembangkan kearah memiliki
otoritas yang tinggi
agar dapat mengawal profesi
guru
tersebut. ( Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., “ Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu
Pendidikan di Era Otonomi Daerah”, Makalah dalam Seminar Nasional Pendidikan Dewan
Pendidikan_23 Juli 2005 Kab Wonogiri (Jepara: PERPUSDA JEPARA ,2010), Hal.
8-11,t.d)
Berbicara keberhasilan seorang pendidik baik secara
personal maupun komunal, tentu akan merujuk kepada pendidikan Rasulullah.
Beliau berhasil membina para sahabatnya secara personal dan berhasil membina
masyarakatnya. Secara personal, para sahabat Rasulullah SAW adalah
pribadi-pribadi hebat tak hanya secara moral, tetapi kematangan sikapnya.
Bahkan Rasulullah SAW memberikan jaminan kulitas para sahabatnya sebagai
sebaik-baik generasi sesuai dengan hadits Rasulullah SAW ;” sebaik-baik
generasi adalah generasiku kemudian setelahnya kemudian setelahnya.” (HR.
Bukhori Muslim).
Rosulullah SAW adalah sosok teladan tanpa keraguan,
dalam diri beliaulah pancaran keagungan Islam teraplikasi dengan sempurna.
Allah SWT memberikan jaminan akan keteladanan Rasulullah SAW tersebut dalam
firman Nya didalam surat Al-Ahzab ayat 21 :
ôs)©9 tb%x. öNä3s9
Îû ÉAqßu «!$#
îouqóé&
×puZ|¡ym
...........
Artinya
: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagimu.(Q.S.Al-Ahzab :21) ( Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Surabaya : Jaya Sakti, 1997), hlm. 670)
Dalam keterangan ayat diatas,
dijelaskan bahwa Rosulullah adalah sebagai bapak dari segala guru yang patut
diteladani kearifan dan kedisiplinannya dalam mendidik para sahabat, saudara
dan ummatnya. Rosulullah mengajarkan keprofesionalan dalam bidang mendidik,
keaktifan, kreatif, disiplin ilmu dll. Beliau adalah sosok aplikatif dari
keagungan Al-Qur’an. Dalam hadits Aisyah ra, dikatakan bahwa akhlak Rasulullah
adalah Al-Qur’an.
B. Persyaratan Umum Profesionalisme Guru
Profesi pada
hakikatnya adalah suatu pernyataan atau janji terbuka bahwa seseorang akan
mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan karena orang tersebut
merasa terpanggil untuk mengemban pekerjaan itu ( Oemar Hamalik, Pendidikan
Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Jakarta:Bumi Aksara, 2002),h.1.). Das Salirawati juga
mengemukakan bahwa profesi merupakan suatu jabatan yang dillandasi oleh
berbagai keahlian, karena pada umumnya suatu jenis pekerjaan akan dapat
dikerjakan dan diselesaikan dengan hasil baik apabila ditangani oleh orang yang
memiliki kemampuan dalam bidang tersebut. Kemampuan ini dalam tingkat yang
paling dasar dan sederhana ditandai oleh ketrampilan kerja.
Kemampuan
tersebut tidak lain adalah kompetensi guru. Cooper mengemukakan 4 kompetensi
guru, yakni :
a.
Mempunyai
pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia.
b.
Mempunyai
pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya
c.
Mempunyai
sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah dan bidang studi yang
diajarkannya.
d.
Mempunyai
ketrampilan tekhnik mengajar ( Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, cet 4,( Bandung : Sinar Baru
Algesindo, 1998), hlm 17)
Pendapat yang
hampir serupa dikemukakan oleh Glasser. Menurut Glasser ada 4 hal yang harus
dikuasai guru yakni :
a.
Menguasai
bahan pelajaran
b.
Kemampuan
mendiagnosis tingkah laku siswa
c.
Melaksanakan
proses pengajaran
d.
Mengukur
hasil belajar siswa
Secara sederhana kemampuan berarti
kompetensi, namun bila dikaji lebih mendalam ternyata mempunyai arti yang cukup
luas, karena kemampuan bukan semata-mata menunjukkan kepada ketrampilan dalam
melakukan sesuatu. Kemampuan ini dapat diamati dengan menggunakan sedikitnya 4
macam petunjuk yaitu :
a. Ditunjang
adanya latar belakang pengetahuan
b. Adanya
penampilan atau performance
c. Kegiatan
yang menggunakan prosedur dan tekhnik yang jelas
d. Adanya
hasil yang dicapai
Piet A.
Sahertian yang mengemukakan tiga definisi mengenai kompetensi guru; pertama,kompetensi guru adalah kemampuan
guru untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan yang telah dirancangkan. Kedua, kompetensi guru adalah adalah
ciri hakiki dari kepribadian guru yang menuntunnya kearah pencapaian tujuan
pendidikan yang telah ditentukan. Ketiga,
kompetensi adalah perilaku yang dipersyaratkan untuk mencapai tujuan pendidikan
( Piet A. Sahertian. Profil
Pendidik Profesional,( Yogyakarta :
Andi Offset, 1994 ), Hlm, 56.).
Nana Syaodih
Sukmadinata mengemukakan tentang kompetensi yang dikutip dari Depdikbud, yang
dirumuskan dalam suatu kemampuan, kemampuan tersebut antara lain sebagai
berikut :
1.
Kemampuan
professional, yang diwujudkan dengan :
a.
Penguasaan
terhadap materi pelajaran.
b.
Penguasaan
terhadap landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan.
c.
Penguasaan
terhadap proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran.
2.
Kemampuan
sosial
Seorang guru harus mampu berperan aktif bagi
pengembangan kehidupan masyarakat, kemampuan guru disini harus dapat
menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungannya.
3.
Kemampuan
personal, yang mencakup :
a.
Penampilan
sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru.
b.
Pemahaman,
penghayatan dan penampilan yang seyogyanya dimiliki oleh seorang guru.
c.
Penampilan
upaya untuk menjadikan dirinya sebagai anutan dan teladan bagi para siswanya. (
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum Teori dan Praktek,( Bandung : Rosda Karya, 1997), Hlm. 192-193.)
Sedangkan Zakiah
Darodjat mengemukakan tentang kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru,
yaitu :
1. Kompetensi
Kepribadian
a.
Merencanakan
atau menyusun setiap program satuan pelajaran.
b.
Menggunakan
dan mengembangkan media pendidikan (alat bantu atau alat peraga) dalam proses
belajar mengajar.
c.
Mengembangkan
dan menggunakan semua metode mengajar agar terjadi variasi dan kombinasi yang
efektif.
2.
Kompetensi
penguasaan atas bahan ajar
a.
Menguraikan
ilmu pengetahuan atau kkecakapan dan apa-apa yang harus diajarkannya kedalam
bentuk komponen-komponen dan informasi yang sebenarnya dalam bidang ilmu.
b.
Menyusun
komponen-komponen atau informasi itu sedemikian rupa sehingga akan memudahkan
siswa untuk memperoleh pelajaran yang diterimanya.
3.
Kompetensi
dalam cara-cara mengajar
a.
Merencanakan
atau menyusun setiap program satuan pelajaran, demikian pula merencanakan
keseluruhan kegiatan untuk satuan waktu (cawu atau semester atau tahun ajaran).
b.
Menggunakan
dan mengembangkan media pendidikan (alat bantu atau alat peraga) bagi siswa
dalam proses belajar mengajar yang diperlukannya.
c.
Mengembangkan
dan menggunakan semua metode mengajar agar terjadi variasi dan kombinasi yang
efektif.( Zakiah Darodjat, Metodik
Khusus Pengajaran Agama Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1995 ), Hlm. 263-264.)
Seorang guru
yang dikatakan professional tidak terlepas dari tugas dan perannya sebagai
pendidik. Para ahli pendidikan telah sepakat bahwa tugas guru adalah mendidik.
Dalam arti yang luas mempunyai makna mengajar, membimbing, membina dan melatih
peserta didik (siswa). Seperti yang diungkapkan Roestiyah, tugas dan peran guru
dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut.
a.
Sebagai
pengajar, seorang guru harus mampu ;
a). Merencanakan progam pengajaran
b). Melaksanakan progam pengajaran
c). Mengevaluasi hasil belajar siswa
serta progam pengajaran yang telah dilaksanakan
b. Sebagai
pendidik, seorang guru bertanggung jawab dalam usaha pencapaian kedewasaan dan
kemandirian peserta didik.
c. Sebagai
manajerial, seorang guru harus dapat menjadi pemimpin bagi diri sendiri, bagi
siswa maupun bagi masyarakat yang terwujud dari sikap :
a).
Memberi kesempatan pada siswa untuk mengeluarkan pendapat.
b).
mengakui siswa sebagai pribadi yang lain dari yang lainnya.
c). Berhasil tidaknya proses belajar
mengajar merupakan tanggung jawab guru dan siswa.
d).
Membimbing anak belajar.
e). Menciptakan suasana belajar yang
demokratis dalam interaksi belajar mengajar.( Roestyah N.K, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, ( Jakarta
: Bina Aksara, 1989 ), Hlm. 80-81)
Tugas guru
sangatlah berat bukan sekedar sebagai pengajar yang hanya memberikan pelajaran
dan ilmu pengetahuan, namun tugas utama yang harus diemban guru sebagai tenaga
pengajar dan yang merupakan komponen dari system pendidikan adalah
mempersiapkan perangkat pembelajaran terlebih dahulu di rumah seperti merancang
: bagaimana membuka pelajaran, tujuan dan strategi menyampaikan tujuan
pembelajaran khusus yang sesuai dengan kemampuan siswa, bagaiman menutup
pelajaran sehingga membawa kesan yang sangat baik oleh siswa ( Elyman,
“Beratnya Tugas Guru”, Dalam Majalah
Gerbang, Edisi 5, Th. III November
2003, Hlm, 51.).
Sehingga dalam mengemban tugas-tugasnya, guru dituntut untuk memainkan peranan
dan fungsinya secara optimal sebab gurulah yang bertanggung jawab dalam
menentukan arah pendidikan.
Moh Uzer Usman
mengungkapkan bahwa guru mempunyai 3 jenis tugas, yakni :
1) Tugas
dalam bidang profesi. Tugas ini meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik
berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti
meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih
berarti mengembangkan ketrampilan-ketrampilan siswa.
2) Tugas
kemanusiaan. Tugas dalam bidang ini harus dapat menjadikan dirinya sebagai
orang tua kedua. Seorang guru harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi
idola bagi siswanya, karena siswa akan enggan menghadapi guru yang tidak
menarik.
3) Tugas
kemasyarakatan. Tugas ini menempatkan guru pada tempat yang lebih terhormat
dilungkungannya, karena dari seorang guru diharapkan masyarakat dapat
memperoleh ilmu pengetahuan. Inii berarti seorang guru berkewajiban
menceerdaskan banggsa menuju pembentukan manusia Indonesia berdasarkan
pancasila. ( Moh Uzer Usman, Menjadi
Guru Profesional, ( Bandung : Rosda Karya, 1996) , Hlm. 6-7.)
Guru disamping
sebagai pendidik, adalah warga masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat
beradaptasi dengan lingkungannya. Pengertian terrhadap lingkungannya akan
membuka jalan bagi seorang guru untuk mengetahui masalah yang timbul dan harus
diatasinya. Guru sebagai pendidik dan warga masyarakat berkewajiban untuk
mengamalkan suatu dasar ing ngarso sung
tulodho ing madyo mangun karso tut wuri handayani yang mempunyai makna guru
adalah seorang yang patut diteladani tidak hanya bagi murid-muridnya dikelas
tetapi juga kehidupan pribadinya sebagai warga masyarakat. ( Mulyati
Arifin, Pengembangan Program pengajaran
Bidang Studi Kimia,( Surabaya, : Airlangga University Press, 1994 ), Hlm.
183.)
Guru diharapkan
dari sinilah harus mempunyai pemahaman, penghayatan dan pengamatan standar
serta memiliki profesionalisme sebagai tuntutan profesi di era kompetisi
sekarang ini. Disamping ada kewajiban imperative, yaitu bberkewajiban
mengembangkan profesionalisme dalam rangka meningkatkan kemampuan mengajar.(
Yuli hermowo, “ Peningkatan Kemampuan Profesionalisme Guru” , Dalam
Majalah Gerbang , Edisi 5 th. III Nov. 2003,Hlm. 41.)
Semua itu harus dikuasai oleh guru sebagai modal awal bagi penghayatan dan
penerapan dalam kehidupan sehari-hari dalam mengemban tugasnya. Jadi seorang
guru tidak hanya boleh beranggapan bahwa tugasnya hanya mengajar semata.
C.
Keaktifan
Belajar
1.
Pengertian
Keaktifan Belajar
Pokok bahasan
tentang keaktifan penulis dianalogikan dengan kedisiplinan belajar mata
pelajaran fiqih. Menurut kamus bahasa Indonesia “disiplin” diartikan latihan
batin dan watak supaya mentaati tata tertib; kepatuhan pada aturan.( Sucipto
Suntoro, Kamus Bahassa Indonesia, (
Surakarta : PT. Beringin, 1990) , Hlm 110.) Sedangkan menurut
kamus popular Indonesia “disiplin” diartikan sebagai ketaatan terhadap
peraturan ( Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, ( Surabaya : Arkola, 1994 ), Hlm, 114.)
Masing-masing
tokoh berbeda pendapat tentang mendefinisikan disiplin. Tetapi pada dasarnya
mempunyai maksud yang sama. Istilah “disiplin” mengandung banyak arti. Oteng
Sutisna menjelaskan “disiplin” (Oteng Sutisna, Administrasi Pendidikan Dasar Teorotis Untuk Praktek
Profesional, (Bandung : Angkasa, 1987 ), Hlm 96.)sebagai berikut
:
a. Proses
atau hasil pengarahan atau pengendalian keinginan, dorongan, atau kepentingan
demi suatu cita-cita atau untuk mencapai tindakan yang lebih efektif.
b. Pencarian
suatu cara bertindak yang terpilih dengan gigih, aktif dan diarahkan sendiri,
sekalipun menghadapi rintangan.
c. Pengendalian
perilaku dengan langsung dan otoritas melalui hukuman dan atau hadiah.
d. Pengekangan
dorongan, sering melalui cara yang tak aneh, menyakitkan. Sedang disiplin
sekolah diartikan kadar karakteristik dan jenis keadaan serba teratur pada
suatu sekolah tertentu atau cara-cara dengan keadaan teratur itu diperoleh,
pemeliharaan kondisi yang membantu kepada pencapaian efisiensi fungsi-fungsi
sekolah.
Sedangkan
menurut Chester Harris memberikan definisi disiplin sebagai berikut :
a. Berisi
moral yang mengatur tata kehidupan.
b. Pengembangan
ego dengan segala masalah intrinsic yang mengharuskan orang untuk menetukan
pilihan.
c. Pertumbuhan
kekuatan untuk mencari jawaban terhadap setiap aturan yang di sampaikan.
d. Penerimaan
outpritas eksternal yang membantu seseorang umtuk membentuk kemampuan dan
keterbatasan hidup.
Sejalan dengan
tujuan diatas Webster memberikan sejumlah definisi “disiplin” empat yang pokok
diantaranya ialah :
a. Latihan
yang mengembangkan pengendalian diri, karakter, atau keadaan serba teratur dan
efisien.
b. Hasil
latihan serupa itu, pengendalian diri, perilaku yang tertib.
c. Penerimaan
atau kepatuhan terhadap kekuasaan dan control.
d. Perlakuan
yang menghukum tau menyiksa.
Definisi-definisi
tersebut diatas mengatakan adanya dua pokok pengertian penting tentang
disiplin. Pengertian pertama adalah proses atau hasil pengembangan karakter,
pengendalian diri, keadaan teratur dan efisiensi. Pengertian yang kedua
meliputi penggunaan hukuman atau ancaman hukuman untuk membuat orang-orang
mematuhi peintah dan mengikuti peraturan dan hukum. Jenis disiplin ini telah
diberi nama disiplin negative, disiplin otoriter, disiplin menghukum atau menguasai
melalui rasa takut.
Adapun
faktor-faktor yang mendorong dalam mengembangkan pola perilaku yang baik
disekolah, yang nampaknya dapat membantu dalam membangun hubungan guru-murid
yang baik. Sesuai apa yang dinyatakn oleh Oteng Sutisna, adalah :
a. Harus
ada pemahaman dan pengakuan oleh guru dan murid tentang maksud-maksud dan
nilai-nilai dari norma-norma dan aturan-aturan yang berlaku.
b. Tekanan
hendaknya diletakkan pada disiplin diri oleh guru dan murid.
c. Guru
maupun murid hendaknya memiliki sifat-sifat perilaku warga sekolah yang baik,
seperti ;sopan santun, pertimbangan dan bahasa yang baik dan benar.
d. Mempunyai
tujuan dan target yang hendak dicapai.
e. Tekanan
dalam pembentukan sikap, kasus disiplin hendaknya pada individu yang
bersangkutan dan bukan pada tindakannya. Hukuman yang diberikan henddaknya
diletakkan pada individu dan bukan kepada pelanggaran suatu peraturan dan
norma.
f. Keinginan
untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.
g. Guru
dan murid hendaknya bekerjasama dalam membangun, memelihara, dan memperbaiki
aturan-aturan dan norma-norma.
Dari pengertian
yang diambil dari kamus tersebut, maka dapat kita ambil sebuah penalaran bahwa
disiplin adalah sebuah kondisi yang membutuhkan sebuah ketaatan terhadap
peraturan-peraturan yang berlaku sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya.
2.
Ciri-ciri
Kedisiplinan
Dalam proses
pembelajaran disekolah disiplin merupakan syarat mutlak dalam pelaksanaan
pendidikan, syarat yang tidak boleh tidak ada ( de condition sine quanon ), syarat yang tidak boleh ditawar-tawar
lagi. Oleh karena itu apabila pengakuan dan penerimaan anjuran-anjuran dari
pendidik itu tidak berdasarkan adanya kedisiplinan dalam pendidikan maka anak
menuruti anjuran itu hanya berdasarkan rasa takut akan ancaman hukuman yang
diberikan.
Menurut
Al-Abrasy ciri yang menonjol guru yang disiplin sebagaimana dikatakan adalah :
a. Bijaksana,
Tepat Menjelaskan Tugas, Taat aturan yang berlaku di Sekolah.
Ini berarti
pandai menggunakan akal pemikiran serta dapat membedakan yang baik dan mana
yang tidak baik, arif dan selalu bertindak sesuai dengan nalar dan taat aturan
yang telah ditentukan.
b. Tegas
Dalam Perkataan dan Perbuatan
Tegas dalam
perkataan dan perbuatan merupakan salah satu modal utama yang harus dimiliki
seorang guru dalam memberikan keteladanan. Dengan demikian akan menimbulkan
kesan yang baik dan dapat di percaya.
c. Tepat
Waktu
Menhargai waktu
adalah sebuah keharusan dalam menjalankan tugas sebagai seorang guru. Dalam
kenyataan sekarang ini banyak timbul permasalahan akibat guru yang tidak
menghargai waktu. Kekosongan dalam kelas hamper tiap hari kita temukan,
akibatnya proses belajar-mengajar terganggu dan menggakibatkan kesan buruk yang
ditimbulkannya.
d. Tanggung
Jawab
Tanggung jawab
akan profesi yang dimiliki adalah konsekuensi yang harus dimiliki. Tanggung
jawab seorang guru adalah membimbing dan mendidik dan memberikan contoh yang
baik terhadap peserta didik.
3.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Kedisiplinan
Rendahnya
kedisiplinan pegawai sama sekali bukan hal yang bru. Masalah seperti ini telah
menjadi penyakit kronis dan yang mmenjangkiti mental pegawai hamper setiap
instansi pemerintahan dari pusat sampai daerah bahkan sampai desa atau
kelurahan. Juga tidak kalah penting sudah menjangkit para pendidik kita yang nota bene adalah orang yang terdidik dan
terpimpin.
Budaya tidak
disiplin, baik disiplin waktu, disiplin terhadap peraturan, disiplin dalam
menjalnkan tugas dan sebagainya, sungguh masih sangat memprrihatinkan.
Memperbaiki
kedisiplinan memang tidak mudah. Selain butuh keteladanan dari seorang
pemimpin, juga yang tterpenting adalah membangun mental ( character building ) dan kepribadian mereka.
Faktor yang
tidak kalah penting adalah datang dari masyarakat sendiri. Peran serta
masyarakat dalam pengawasan proses sebuah system kinerja yang ada dalam
pemerintahan, kiranya sangat membantu menuju perbaikan yang optimal.
Berdasarkan
faktor diatas tentunya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Tinggal
kesadaran masing-masing individu untuk bisa berbesar hati demi sebuah tatanan
kehidupan masyarakat yang kondusif. Saling mengisi dan saling mengingatkan. (
Media, Indisipliner Bukan Hanya Karena system Tapi Mental, (Jombang :
Yamajo, 2003), Hlm, 2.)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda